Dalam beberapa tahun mendatang Purbalingga dan kota-kota sekitarnya akan segera mempunyai bandara besar. Rencananya pangkalan TNI AU Wirasaba di Purbalingga sebentar lagi akan dijadikan bandar udara besar untuk menangani penerbangan komersial. Ini merupakan sebuah kemajuan yang sangat membanggakan, tetapi dibalik itu pembangunan ini di indikasikan akan mengkorbankan beberapa situs sejarah di desa Wirasaba. Wirasaba adalah desa kuno dimana dahulu kala adalah pusat pemerintahan kadipaten Wirasaba yang luas wilayah kekuasaanya lebih luas lagi dari wilayah karesidenan Banyumas bikinan Belanda. Dan Wirasaba adalah cikal bakal adanya kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara secara langsung atau tidak langsung.
Tepat tanggal 20 Oktober 2011, mbak Esti seorang pecinta sejarah juga yang berkantor di Pemkab Purbalingga yang juga masih keturunan dari Djajadiwangsa di Wirasaba, mengundang teman-teman BHHC untuk mendokumentasikan pendopo-pendopo dan situs-situs peninggalan yang lain milik keluarganya yang memang sangat dekat dengan LANUD Wirasaba. Situs-situs inilah yang terancam akan tergusur. Atas undangan itu kami dari BHHC pun berinisiatif untuk melakukan penyusuran dan dokumentasi terhadap situs-situs tersebut dengan menggandeng dua komunitas lain yaitu komunitas fotografi Lensa Manual Purwokerto dan komunitas pecinta kereta api (bagian Heritage) untuk tema "Wirasaba Sebelum Terlambat" dan akhirnya disepakati dengan pihak pengundang untuk di laksanakan pada 28 Desember 2011.
Sesuai dengan pengumuman yang telah disebarkan melalui email, Blog, Facebook dan SMS hari ini teman-teman dari 3 komunitas berbeda yaitu Banjoemas History Heritage Community BHHC, komunitas fotografi Lensa manual reg. Purwokerto dan komunitas pecinta kereta dari DAOP V SPOORLIMO dan follower www.banjoemas.com sebanyak sebelas orang berkumpul di GOR Satria Purwokerto untuk bersama berwisata sejarah bertema "Wirasaba Sebelum Terlambat".
Penyusuran Rel SDS
Tepat jam 7.30 kita menuju 3 Km ke arah timur kota Purwokerto, Stasiun Sokaraja adalah lokasi pertama blusukan kita dimana dulu SDS membangun Stasiun ini pada tahun 1896 dan meresmikannya pada 05 Desember 1896. Bangunan Stasiun yang berupa Peron dan Gudang masih utuh hanya sekarang beralih fungsi sebagai Gedung PWRI Persatuan Wredatama Republik Indonesia dan kita masih dapat menjumpai bekas menara air yang kondisinya masih kokoh namun nampak tak terawat. Bahkan letaknya berada di dalam halaman rumah warga yang di pagari, sehingga kami hanya bisa mengamatinya dari luar halaman. Namun rangkaian rel yang membentuk emplasemen stasiun dan membagi rel ke arah pabrik Gula kalibagor dan Pabrik Tepung Tapioka sudah hilang entah kemana. Kini berubah menjadi pemukiman warga dan hanya tersisa sedikit bekas jalur-jalur rel yang berubah menjadi jalan gang saja. Untuk saat ini belum ada papan asset tanah milik PT. KAI di sekitar eks-Stasiun Sokaraja, hanya plat penanda asset bangunan saja yang tertempel di bangunan eks-Stasiun Sokaraja. Kami juga memperhatikan potongan rel di depan bangunan yang berubah menjadi semacam pembatas parkir dan tiang papan nama. Masih terlihat pula di rel tersebut tulisan emboss “SJC 1914 SDSM” yang menandakan rel tersebut masih asli.
Bekas Stasiun Sokaraja, temen teman dari SPOORLIMO memeriksa rel yang tergeletak
Bekas jembatan kereta yang diurug dan di jadikan bangunan permanen
Bekas jalur rel yang berubah menjadi jalan gang
Setelah puas mengamati eks-Stasiun Sokaraja kami berlanjut ke arah timur menelusuri gang yang dulunya merupakan jalur KA lintas Sokaraja-Banjarsari. Hanya tersisa patok yang terbuat dari potongan rel yang berjejer disebelah gang tersebut dan beberapa bantalan besi yang beralih fungsi menjadi pagar maupun jembatan kecil untuk menyeberangi parit kecil (kalen dalam istilah Jawa). Ketika jalan mulai membelok ke arah Sungai Pelus, Nampak terlihat potongan rel yang masih dapat terlihat walaupun terkadang hanya potongan pendek saja. Tampak pula sebuah pondasi jembatan kecil yang kami temukan di antara rumah warga. Kemudian diatas sungai Pelus sebuah jembatan kereta yang masih kokoh kini berfungsi sebagai jembatan jalan yang bisa dilalui motor, kondisinya sudah lebih bagus karena sudah diberi pagar dan sudah di cat ulang sehingga nampak menawan dan lebih aman dilewati warga sekitar.
Masih menyusuri bekas rel ke arah Banjarsari, kami menyusuri jalan gang lagi. Sempat kami berhenti sejenak untuk mengambil foto rel yang menggantung di atas sungai kecil. Setelah kami perhatikan memang dahulu terdapat jembatan kecil di atasnya, karena terdapat nomor registrasi pada bagian pondasinya. Namun besi penyangganya telah hilang dan hanya menyisakan pondasi dan rel yang menggantung di atasnya. Jalan gang selanjutnya masih terdapat rel yang posisinya telah dilebarkan menjadi jalan gang yang berakhir di jalan raya Sokaraja-Purbalingga. Relnya terdapat di sebelah kanan jalan arah Purbalingga namun kondisinya sudah tertimbun tanah sehingga sudah tidak terlihat lagi.
Lintasan dan bangunan bekas jembatan rel Lori Sf. Kalibagor
Bekas Stasiun Banjarsari
Di depan SPBU Klahang kami berhenti untuk mengamati persilangan antara jalur SDS dengan jalur lori yang tampaknya terhubung ke Pabrik Gula Kalibogor. Masih terlihat rel bekas jalur lori yang sedikit terlihat di pinggir jalan persilangan dan perlintasan lorinya. Kemudian terlihat jalur lori juga menyebrangi sungai Sogra yang sekarang hanya menyisakan pondasinya saja. Hanya sebentar saja kami mengamatinya karena kami sudah tidak sabar untuk lanjut mblusuk ke eks-Halte Banjarsari, dan hanya dalam waktu kurang lebih 3 menit kami sampai di eks-Halte Banjarsari yang posisinya terletak di sebelah kanan jalan raya dekat pintu masuk sebuah pabrik. Sampai disana kami mulai mengamati eks-Halte Banjarsari tersebut. Cukup lama kami mencari namun tidak ada tanda-tanda bahwa bangunan tersebut dulunya merupakan bekas Halte & persimpangan jalur KA ke Purbalingga dan Wonosobo. Kami juga tak dapat mengakses bagian dalam bangunan karena tertutup teralis tinggi sehingga kami hanya bisa mengamatinya dari luar. Setelah puas mengamatinya kamipun melanjutkan mblusukan ke arah Klampok.
Jalur kereta yang berubah menjadi jalan setapak yang tidak mudah di lalui kendaraan roda 2
Sebuah jembatan kereta melintas diatas parit
Memasuki jalan desa, kami menemukan jalan yang memiliki radius tikungan yang lebar dan sangat bisa ditebak kalau dulunya jalan tersebut merupakan bekas jalur SDS ke arah Purbalingga. Terdapat pula papan asset PT. KAI yang kondisinya sudah hancur dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan patok PT. KAI yang baru di sebelah patok asli SDS yang terbuat dari batu namun tulisannya telah pudar terkikis oleh waktu. Banjarsari-klampok adalah track lurus sehingga memudahkan team untuk menyusurinya. Sampai dekat grumbul Jalan Jamid jalan kampung yang menggunakan bekas jalur rel SDS membelok 90 derajat, sedangkan jalur tetap lurus namun sangat susah untuk di susuri. Kami urung menyusurinya karena menurut seorang petani yang terdapat di sana pematang terssebut hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki karena jembatan Kali Jompo bagian tengahnya berlubang sehingga tidak bisa dilalui motor. Akhirnya kami beristirahat sejenak disana dan waktu istirahat tersebut digunakan oleh teman-teman dari Lensa Manual untuk mengambil foto pemandangan dan Human Interest yang tersedia sangat alami disana. Setelah cukup, kami mulai melanjutkan mblusukan ke daerah Kalialang.
Disanalah mblusukan yang sebenarnya dimulai. Kami harus melalui sempitnya pematang sawah dengan kondisi tanah yang lembek dengan sepeda motor. Memang kondisi yang cukup menantang adrenalin namun kami justru merasa senang. Beberapa kali kami berhenti sebentar untuk mengambil foto bekas jembatan-jembatan KA yang relatif kecil dan pendek namun masih berdiri kokoh. Dan setelah sampai di daerah Sumulir, kami berhenti karena menemukan area yang cukup luas dan terdapat beberapa pondasi tiang. Setelah kami cocokan posisi di peta, ternyata bekas pondasi tiang tersebut merupakan bekas tiang stasiun Muntang yang kini telah musnah dan hanya menyisakan sedikit jejak. Justru bangunan yang sampai saat ini masih ada dan berdiri kokoh ialah bekas pos perlintasan (PJL) jalur KA SDS dengan jalan desa Sumilir yang berfungsi juga sebagai pos penjagaan jalur lori yang terletak tak jauh dari sana.
Disanalah mblusukan yang sebenarnya dimulai. Kami harus melalui sempitnya pematang sawah dengan kondisi tanah yang lembek dengan sepeda motor. Memang kondisi yang cukup menantang adrenalin namun kami justru merasa senang. Beberapa kali kami berhenti sebentar untuk mengambil foto bekas jembatan-jembatan KA yang relatif kecil dan pendek namun masih berdiri kokoh. Dan setelah sampai di daerah Sumulir, kami berhenti karena menemukan area yang cukup luas dan terdapat beberapa pondasi tiang. Setelah kami cocokan posisi di peta, ternyata bekas pondasi tiang tersebut merupakan bekas tiang stasiun Muntang yang kini telah musnah dan hanya menyisakan sedikit jejak. Justru bangunan yang sampai saat ini masih ada dan berdiri kokoh ialah bekas pos perlintasan (PJL) jalur KA SDS dengan jalan desa Sumilir yang berfungsi juga sebagai pos penjagaan jalur lori yang terletak tak jauh dari sana.
Kondisi atas dan bawah jembatan SDS
Crew mblusuk berfoto bersama di atas jembatan SDS
Sekitar 100m ke arah timur, disitulah terdapat salah satu situs termegah peninggalan SDS. Adalah jembatan Sungai Klawing yang membentang kokoh di atas derasnya aliran Sungai Klawing dengan rangka baja yang masih terlihat kuat. Konstruksinya sama persis dengan jembatan Sungai Serayu yang ada di Patikraja, hanya saja belum diketahui pasti berapa panjang jembatan Sungai Klawing ini. Karena sosoknya yang kokoh dan besar, jembatan ini menjadi sasaran kamera kami. Sayang rasanya untuk tidak mengabadikan kemegahan jembatan ini, apalagi panorama alam sekitarnya lumayan menantang. Hanya saja kondisi musim penghujan membuat air Sungai Klawing terlihat kecoklatan, ditambah lagi banyaknya perahu penambang pasir yang lalu-lalang di sekitar jembatan itu.
Puas mengabadikan jembatan Sungai Klawing dan berfoto bersama di sana, kamipun melanjutkan perjalanan ke Klampok, tepatnya di area Lanud Wirasaba untuk mengikuti Undangan dari Keluarga Tirtasentana. Di sela-sela acara tersebut, kami masih bisa menjelajahi eks-Jalur SDS, dan di dekat Lanud Wirasaba kami menemukan jembatan SDS yang masih kokoh membentang diatas Sungai Serayu. Posisi rel yang cukup tinggi dari permukaan air Sungai Serayu serta jalan yang cukup sempit memberikan sensasi tersendiri karena cukup memompa adrenalin. Posisinya yang sulit mebuat kami kesulitan mendapat angle foto yang bagus sehingga kami hanya bisa mengabadikannya dari atas jembatan.
Keluarga Tirtasentana, Djajadi Wangsa dan situs-situs Peninggalannya
Dari sana Team melanjutkan perjalanan ke Sebuah Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan dimana BHHC diundang untuk mendokumentasikan situs Keluarga besarnya dan situs-situs yang lain di Wirasaba. Di Pendopo Tirtasentana sedang di adakan kumpulan trah Tirtasentana seluruh Indonesia. Disana kita disambut oleh Mbah Tomo yang merupakan penghubung BHHC dengan Keluarga Tirtasentana dan Djajadi Wangsa di Wirasaba.
Foto lukisan Ki Tirtasentana dan istrinya
Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan
Siapakah Eyang Tirtasentana itu? Beliau adalah salah satu tokoh di daerah Wirasaba pada masanya (1873-1940). Beliau adalah putra mantu dari Ki Djadjadi Wangsa yang berhasil meneruskan kesuksesan nya sebagai saudagar kaya yang di hasilkannya dari bertani dan berkebun. Ketokohan beliau masih terlihat sampai sekarang salah satunya adalah dari kerukunan anak cucu keturunannya. Dua tahun sekali mereka yang sudah berdomisili di berbagai pelosok di Indonesia berkumpul seperti hari itu di rumah tua milik leluhur mereka hanya untuk bersilaturahim. Rumahnya sebetulnya sudah agak reot, tetapi unik karena begitu orisinil, dan anak cucu keturunannya itu bermalam di kamar-kamar rumah itu, tidak dihotel. Betul-betul sebuah aksi “nguri-uri” peninggalan leluhur yang nyata.
Makam ki Tirtasentana
Makam adipati Peguwan
Mendengarkan cerita sejarah dari pak Suyono
Oleh mbah Tomo dan pak Suyono kita seluruh team di ajak berkeliling Desa. Diantaranya ke beberapa makam-makam tua, makam Tirtasentana dan anak-anaknya di pemakaman umum desa Kembangan. Di setiap makam kita berhenti sambil menerima penjelasan tentang sejarah tokoh yang ada di makam tersebut. Diantara makam yang kita kunjungi adalah makam Eyang Djayadiwangsa (1835-1918).
Mendengarkan cerita dari Mbah Tomo dan juru kunci makam Adipati Wargahutama I
Nisan Adipati Wargahutama I
Pantangan yang terkenal itu di pahatkan di sisi makam Adipati
Pak Suyono menerangkan sejarah pantangan yang terpahat di tembok
Selanjutnya Mbah Tomo mengajak ke desa Pekiringan dimana adipati Warga Hutama I dimakamkan. Adipati Warga Hutama I adalah adipati yang meninggal terbunuh di dusun Bener karena kesalahpahaman penguasa Pajang. Dari adipati inilah yang menurunkan 4 pantangan yang sangat terkenal itu;
- Jangan makan Pindang Angsa
- Jangan tinggal di rumah dengan atap Bale Malang
- Jangan memelihara kuda Dawuk Bang (Abu kemerahan)
- Jangan bepergian di Sabtu Pahing
Dari Pekiringan team menyebrang lewat jembatan bekas jalur SDS yang melintas diatas sungai Serayu. Setelah menyebrangi jembatan jalur bertemu dengan jalan kampung, dan team pun berhenti disana. Mbah Tomo menceritakan bahwa dahulu Djajadi Wangsa mengusulkan ke Maskapai SDS untuk membuat jalur khusus bongkar muat hasil pertanian dan perkebunan miliknya. Dan dari sinipun mbah Tomo memperlihatkan dermaga kecil di tepi sungai Serayu di belakang pendopo Djajadi Wangsa. Dermaga ini adalah sarana transportasi untuk mendistribusikan Hasil perkebunan dan pertaniannya ke pelabuhan Cilacap sebelum dibangunnya jalur rel SDS di desa Wirasaba.
- Jangan makan Pindang Angsa
- Jangan tinggal di rumah dengan atap Bale Malang
- Jangan memelihara kuda Dawuk Bang (Abu kemerahan)
- Jangan bepergian di Sabtu Pahing
Dari Pekiringan team menyebrang lewat jembatan bekas jalur SDS yang melintas diatas sungai Serayu. Setelah menyebrangi jembatan jalur bertemu dengan jalan kampung, dan team pun berhenti disana. Mbah Tomo menceritakan bahwa dahulu Djajadi Wangsa mengusulkan ke Maskapai SDS untuk membuat jalur khusus bongkar muat hasil pertanian dan perkebunan miliknya. Dan dari sinipun mbah Tomo memperlihatkan dermaga kecil di tepi sungai Serayu di belakang pendopo Djajadi Wangsa. Dermaga ini adalah sarana transportasi untuk mendistribusikan Hasil perkebunan dan pertaniannya ke pelabuhan Cilacap sebelum dibangunnya jalur rel SDS di desa Wirasaba.
Kemudian pendopo Djajadi Wangsa adalah tujuan selanjutnya, kita semua masuk dan melihat kedalam pendopo yang masih sangat orisinil dan terawat. Tuan rumah yang merupakan ahli waris pendopo Djajadi Wangsa menerima kami semua dengan ramah, namun kita tidak bisa berlama-lama di sana karena jam sudah menunjukan jam 12 siang.
Masih ada dua tujuan lagi yang harus kita kunjungi yaitu Pemakaman keluarga besar Djajadi Wangsa di tepi Lanud Wirasaba. Cukup lama kita disana karena mbah Tomo menceritakan dengan detail siapa saja yang di makamkan disana hingga akhirnya sampai juga di tujuan terakhir perjalanan kita yaitu pemakaman orangtua Djajadi Wangsa di lereng sebelah selatan desa Kembangan.
Pendopo Djajadi Wangsa
Bekas Pelabuhan kecil milik Ki Djajadi Wangsa
Makam ki Djajadi Wangsa
Masih ada dua tujuan lagi yang harus kita kunjungi yaitu Pemakaman keluarga besar Djajadi Wangsa di tepi Lanud Wirasaba. Cukup lama kita disana karena mbah Tomo menceritakan dengan detail siapa saja yang di makamkan disana hingga akhirnya sampai juga di tujuan terakhir perjalanan kita yaitu pemakaman orangtua Djajadi Wangsa di lereng sebelah selatan desa Kembangan.
Catatan blusukan ini ditulis oleh Garin Nur Alif SPOORLIMO, Deddy Kurniawan IRPS, Rizky Dwi Rahmawan BHHC dan Jatmiko W BHHC.
Fotografi oleh Garin Nur Alif dan Jatmiko W
Fotografi oleh Garin Nur Alif dan Jatmiko W
Terimakasih www.banjoemas.com, komunitas BHHC, Komunitas Lensa manual dan Komunitas Spoorlimo dan dari keluarga Wirasaba mbak Estining 'Engky' , Pak Tomo , Pak Suyono dan keluarga besarnya ... dan semua pihak yang telah membantu melancarkan acara WIRASABA SEBELUM TERLAMBAT 28 Desember 2011.
Kembali ke Atas
14 komentar:
suwun infone pak
mantab.......matur nuwun......
Inyong melu mendukung kang/ mbekayu, rika pada sing pada nguri nguri budayane leluur mbanyumas.... semoga lancar. Amiin.
www.sekengkel.co.cc ( Soto Sekengkel mBanyumas )
Hari Fahastra & Phei , nggih mangga dilanjut, matur nuwun sampun mampir.
Pak Jon's, maturnuwun dukungane, kapan-kapan kula mampir mriku lah njajal ... kayane ko nylekamin pisan ya ....
Luarbiasa..
Kapan ada lagi acara seperti ini ? sangat menarik sekali.
Anton
Perum Karen Indah I Blok A/1 Sokaraja-Banyumas
anton14240@yahoo.co.id
Menarik Sekali, dan sangat brilian menggali 'Sejarah yang Hilang'...... komunitas yang hebat..... Angkat Topi dan salam hormat untuk komunitas super gagah ini...
Sudah lama saya mencari artikel spt ini.Mantep mas.Kalau boleh saya mengusulkan agar sejarah awal banyumas di teliti dan diungkap.Selain itu juga mengenai interaksi leluhur banyumas dengan kerajaan sunda/galuh,legenda lutung kasarung/kamandaka perlu dicermati saya yakin ada realitas sejarah yang terkandung dlm cerita tersebut.Maju terus tim sejarah banyumas.Maturnuwun.
Puji sulistyanto
leuwilimus-cikande
serang-banten
Anonymous, Okinurcahya, Anton, Andi bens, Puji Sulistyanto, terimakasih semuanya semoga informasi yang kami sampaikan bermanfaat, kami memilah sejarah tertulis dan dongeng/legenda, hingga informasi bisa kami pertanggungjawabkan, kedepan kami akan juga hadirkan dongeng atau legenda kas Banjoemas. Salam
mantab sekali....lanjutkan bung...
wah, artikel yang menarik.....
Ass Wr Wb, Salam Taklim, saking Trah R Bratadiningrat Kanoman - Banyumas; sanget ing panganti anti para kekerabatan BANYUMAS kersaa urun urun Serat Sara Silah, mugi sedaya kala wau wujudipun raos tresna lan penghormatan dumateng para leluhur, mugi sedaya wonten manfaatipun, Rahayu Rahayu Rahayu, Wass
KAMPUNK 11, Kursito Nirusuke, terimakasih pujiannya
Anonymous, Walekomsalam maturnuwun sampun pinarak wonten mriki, monggo sederek ingkang sampun gadah silsilah monggo dipun uri-uri, lan saged dipun kirim dateng surel jatmikow@banjoemas.com utawi menghubungi 08884039100 ingkang bade men-digitalaken serat sarasilahipun. salam
Sepakat mas, bangsa yang besar bangsa yang menghargai leluhurnya
Posting Komentar
Silahkan isi komentar anda !
Jangan lupa tinggalkan Nama dan alamat emailnya